Halo semua, lama tak berjumpa karena jarang ada yang mengunjungi blog saya dan saya sudah lama tidak menulis, hihihi. Maaf, kemarin-kemarin sedang sibuk jalan-jalan dan ngeracik kopi, bahasa gaulnya sih barista tapi kalau saya bukan barista yang pakai mesin cuma manual brewing.  Sekarang lagi sibuk bergulat sama skripsi.

Berawal dari adanya limpahan rejeki untuk jalan-jalan ke luar negeri *terima kasih Tuhan*, saya pun harus segera memiliki paspor dan visa kunjungan *katrok banget ya, tahun 2015 belum punya paspor*. Inilah cerita saya dalam mengurus paspor dan visa dalam waktu yang mepet serta sedikit tips yang mungkin berguna, semoga.

Akhir Bulan Juni 2015, saya mulai mengurus dokumen untuk membuat paspor. Saya menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan, yaitu KTP, Akte Kelahiran, Kartu Keluarga, surat masih kuliah dan foto copy semua berkas-berkas tersebut dalam kertas A4. Setelah semua siap, esok hari saya pergi ke kantor imgrasi Yogyakarta, sebelah timur Bandara Udara Internasional Adi Sutjipto, untuk membuat paspor setelah tanya kesana-kemari mengenai berkas-berkas yang harus disiapkan. Jam menunjukkan pukul 13:00 WIB saat saya tiba di kantor imigrasi, langsung saja memarkirkan motor dan berjalan ke bagian informasi untuk mendaftar pembuatan paspor, tapi Tuhan berkehendak lain. Hari itu, kuota pembuatan paspor sebanyak 100 orang sudah habis dan dengan berat hati saya pulang ke rumah. Belajar dari pengalaman pertama, hari itu saya datang ke kantor imigrasi. Pukul 09:30 WIB saya sudah di bagian pendaftaran. Saat mendaftar, saya di suruh mengisi form yang berisi data pribadi dan dimasukkan ke dalam map khusus beserta berkas-berkas yang dibutuhkan dan saya mulai mengantri. Setelah kurang lebih mengantri selama 2 jam, akhirnya saya dipanggil oleh petugas dan masuk ke ruangan pembuatan paspor. Di ruangan tersebut, saya menunggu lagi sekitar 10 menit. Setelah dipanggil saya duduk ditempat yang telah disiapkan dan terjadilah sebuah wawancara yang lucu dan aneh seperti berikut:
Secangkir Kopi Baliem Saring di Pagi Hari

Mentari sudah berada di seperempat bagian langit. Memancarkan kehangatan bagi anak-anak adam yang akan mencari rezeki ataupun yang baru tersadar dari dekapan mimpi indah semalam. Langit pagi tak berwarna biru terang. Di ufuk timur jauh sana, warna abu-abu kehitaman menghiasi langit. Mungkin sore nanti, langit akan memeras air matanya. Memberikan berkah bagi mereka yang membumi, menjatuhkan mereka yang meninggi ataupun membawa kenangan bagi para penjaga rindu dan kenangan hingga mereka dapat tersenyum dan membuat sajak-sajak indah tentang kenangan, aku tak tahu.
Suara kalkson dan deru mesin kendaraan bermotor, membuat riuh suasana pagi. Entah darimana dan hendak kemana mereka. Tapi sepertinya mereka berusaha untuk cepat mencapai tujuan hingga tak peduli dengan apapun, kecuali dirinya sendiri. Semua memiliki kehendak masing-masing. Suara crane yang lelah mengangkat dan memindahkan kayu, pipa dan besi-besi berat kesana – kemari. Suara tanah yang tercangkul, suara tiang-tiang penyangga yang memaksa masuk ke tanah, suara tumbukan besi-besi berat yang menyatukan tiang-tiang penyangga, suara orang-orang yang lelah menyatukan besi-besi berat itu agar tercipta bangunan megah yang menjulang tinggi untuk tempat orang borjuis bercengkrama bersama mimpi dan berharap sore nanti mereka membawa lembaran – lembaran  kertas bergambar tokoh nasional agar menyambung hidup dan suara orang yang mengais rupiah dalam setumpukkan sampah. Semua itu menciptakan suatu melodi yang sedikit kacau dan terkesan terburu-buru di pagi hari ini. Mungkin, langit tak ingin mendengarkan melodi ini.
Warung kopi yang terletak di pinggir perempatan itu masih sepi dan lenggang. Melodi pagi ini dapat terdengar jelas di warung kopi ini. Mungkin karena kita mengenal kopi dari malam. Kopi yang memberikan kenangan, penyesalan, persahabatan, inspirasi dan mungkin juga rindu. Padahal pagi pun dapat menyeduhkan secangkir kopi. Kopi yang dapat memberikan harapan dan semangat untuk menghadapi kerasnya dunia beberapa jam lagi. Di warung kopi itu, seorang peracik kopi sedang menyeduh kopi sembari menahan kantuk. Mimik mukanya terlihat serius dan berusaha memberikan nyawa pada bubuk kopi yang sedang ia seduh. Mungkin juga memberikan semangat dan harapan pada orang yang memesan kopi itu, bila ia mengetahuinya apa yang tertera di wajah orang yang memesan kopi itu.

Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home