Akhirnya Yudisium
Sulit memang memecah kerumunan kendaraan di jalanan Kota Jogja pada saat jam sibuk. Harus memiliki kemampuan berkendara yang mengagumkan bila ingin cepat sampai ke tujuan saat jam – jam sibuk. Jalanan Kota Jogja sekarang ini sudah berubah amat sangat drastis. Saat aku masih ingusan, jalanan kota Jogja masih amat sangat lengang dan sekarang saat aku sudah brewokan, jalanan kota ini berubah menjadi kepulan asap kendaraan bermotor yang sangat pekat. Well, pagi itu aku ketiduran dan bangun pukul 09:19 WIB, padahal hari itu ada acara penting dalam hidup pada jam 10:00 WIB, yaitu yudisium. Bangun tidur dan tertegun lah aku saat melihat jam di dinding kamar yang cat sudah memudar dan sedetik kemudian ku hisap rokok lintingan dalam – dalam. Satu batang rokok habis sudah, langsung saja aku mandi seadanya dan memakai dress code acara wisuda, yaitu hitam putih dan berdasi hitam, semprot parfum sana – sini. Sempat kebingungan mencari smartphone kesayangan yang sudah butut, 15 menit kemudian ku pacu motorku menuju jalan raya yang sudah padat.

Salah Satu Kemacetan Di Jalan Solo Deket Amplaz
sumber: Google
Wisuda menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti  peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Biasanya acara wisuda ini akan dihadiri oleh anggota keluarga wisudawan/i yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Orang tua wisudawan/i dengan wajah sumringah melihat anaknya telah dinyatakan resmi berhak menyandang gelar sarjana *gilakkk, udah sarjana brooo*. Bila yang di wisuda anak pertama di dalam keluarga tersebut, biasanya satu trah (keluarga besar) akan menghadiri acara wisuda tersebut atau bisa juga satu desa akan datang sehingga menyebabkan banyak mobil/bus parkir disekitaran gedung acara wisuda dan menyebabkan kemacetan di jalan *hasil dari pengamatan sekilas selama 4 tahun kuliah di UGM sih*. Yah, walaupun banyak orang tua yang tinggal jauh dari Jogja, pasti dibela-belain dateng ke acara wisuda anaknya dengan memakai baju terbaik yang mereka punya*hasil dari pengamatan sekilas*.
Berbicara mengenai masa lalu, kita pasti akan merasa senang bila masa lalu yang kita bicarakan adalah masa – masa yang indah dan sebaliknya kita akan menangis bila kita mengingat masa lalu yang menyedihkan. Masa lalu tak bisa kita buang begitu saja dari rak – rak ingatan yang ada di otak kita, masa lalu akan selalu ada di rak paling bawah ingatan kita. Akan ada saatnya dimana kita bertemu dengan kondisi yang mengharuskan kita membaca kembali masa lalu kita dan dia bisa saja seenaknya menampkan diri di rak paling atas yang membuat kita mau tak mau membacanya. Itulah masa lalu, kita tak perlu membuangnya karena dengan masa lalu kita dapat belajar dan menjadikannya acuan untuk melangkah ke depan ataupun untuk berbuat sesuatu di masa depan.

Saya memiliki milyaran masa lalu yang masih tersimpan rapi di rak paling bawah ingatan saya dan entah mengapa malam ini saya ingin menuliskan dan memunculkan lagi ingatan tentang seseorang yang pernah ada di masa lalu saya. Seorang yang wanita pastinya, yang telah memberikan cerita dan warna di kehidupan saya selama kurang lebih setahun. Wanita yang bisa dibilang pacar saya dulu (Mantan –RED) dan saya masih penasaran – hingga sekarang – dia bisa mencintai saya dan mau – maunya menjadi pacar saya, hahaha. Entah mengapa, tak ada alasan yang jelas, karena cinta tidak butuh alasan untuk mencintai kan?.
“ And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
-          Paulo Coelho “The Alchemist”

Dengan bermodalkan nekat dan prinsip dari Paulo Coelho, salah satu penulis hebat, tibalah saya di pertigaan – yang saya tak tahu namanya – sambil meratapi angkot petaka yang berasap ria di sepanjang Jalan Brawijaya. Yah, tak ada salahnya saya berjalan lagi. Toh, jaraknya tidak terlalu dekat. Itulah yang pertama saya pikirkan, sehingga dengan segenap jiwa raga saya berjalan menyusuri Jalan Brawijaya. 10 menit saya berjalan, ternyata pikiran saya salah karena tanda – tanda adanya lembaga kursus “Global English” di pinggir jalan belum juga muncul.  Butuh waktu sekitar 20 menit dari pertigaan – yang saya tak tahu namanya – ke lembaga kursus “Global English”. Baju ini penuh dengan peluh keringat sesampainya di kantor lembaga kursus “Global English” dan di halaman kantor sudah berkumpul puluhan orang dari seluruh Indonesia. Melihat gerombolan manusia asing di halaman kantor, saya menjadi panik karena khawatir kuota untuk tanggal 25 Mei 2016 sudah habis. Dengan sisa – sisa tenaga yang saya miliki, saya berusaha memecah gerombolan manusia asing tersebut dan masuk ke dalam kantor “Global English”. Di dalam kantor, keadaannya tak berbeda jauh dengan di halaman kantor dan lebih pengap karena jarang adanya sirkulasi udara. Setelah tanya sana – sini dan sok kenal sok dekat ke beberapa manusia asing itu, kepanikan saya semakin menjadi – jadi karena mayoritas manusia – manusia itu sudah mendaftar via online. Bagaimana ini, kalau saya kehabisan kuota, saya harus berjalan kaki lebih jauh lagi.

Tampak Depaan Kantor "Global English".
Sumber : Google
Prinsip dari Paulo Coelho saya pegang teguh karena saat itu – hingga saat ini – saya masih menginginkan untuk pergi ke Aussie. Namun untuk mencapai apa yang benar – benar saya inginkan, kemampuan berbahasa inggris saya masih dalam skala “yes or no” saja dan ke Pare adalah langkah awal untuk mencapai impian saya. Setelah 20 menit mengantri untuk mendapat giliran mengambil sembako gratis, eh salah.... Setelah 20 menit mengantri akhirnya saya mendapatkan kesempatan duduk dan bertanya kepada mas – mas kece di belakang meja pendaftaran.

Saya (S) : Mas, pendaftaran untuk tanggal 25 Mei masih dibuka?
Mas Kece (MK) : Masih mas. Mau kursus berapa bulan? *menunjukkan daftar harga*
S : Sebulan aja mas *melihat daftar harga*.
MK : Oke. Atas nama siapa?

Tanggal 25 Mei 2016 pukul 01:00 WIB dengan bermodalkan baju seadanya di tas carrier 80 liter hasil pinjaman teman yang sudah satu tahun lebih belum juga saya kembalikan, kaki ini tiba di salah satu stasiun terbesar di Yogyakarta, Stasiun Tugu Yogyakarta untuk pergi pergi ke Pare, Kediri. Kalian tahu kan di pare banyak sekali lembaga kursus bahasa inggris disana? Katanya sih tumpah ruah, tapi ya saya kurang tahu. Namun karena namanya modal nekat, lembaga kursus di Pare dan tiket kereta api ke Kediri juga belum saya dapatkan. Langsung saja saya masuk ke pintu timur stasiun yang sepi sekali dan hanya ada satu loket tiket yang masih buka, loket tiket go show. Malam itu Stasiun Tugu seperti stasiun mati, hanya ada beberapa orang yang masih terbangun. Langsung dah tanya mas – mas yang ada di loket ada kereta tujuan Kediri ada apa saja.

Yap, dengan berbagai pertimbangan yang matang karena saya ingin tidur pulas, akhirnya terpilihlah tiket kereta api Gajayana seharga Rp150.000 WIB yang akan berangkat pukul 02:00 WIB. Mahal juga sih harganya untuk relasi Yogyakarta – Kediri, tapi yah untuk tidur nyaman juga tidak apa – apa karena paginya saya harus bersafari di Kediri. Dan eng – ing – eng, keretanya telat 30 menit lebih!! Terpaksa lah saya menunggu lebih lama di stasiun. Skip.... Skip, pukul 06:30 WIB saya tiba di Stasiun Kediri dan hampir kelewatan karena saya tidur pulas sekali di kereta. Oya, pemandangan sunrise dari dalam kereta bagus juga lho.
Interior Kereta Api Gajayana. Yah, Standar Eksekutif Sih.
Keluar dari Satsiun Kediri banyak sekali tukang becak yang menawarkan jasanya untuk mengantar ke halte bus yang akan ke Pare/Surabaya atau para tukang ojek yang bersedia mengantar langsung ke Pare. Namanya juga baru bangun tidur, penawaran mereka tidak saya gubris dan yang ada pikiran hanya ingin udud, hehehe. Tapi ada satu bapak yang  setia menunggu saya selesai udud. Yuhu, karena sebelumnya saya searching harga untuk jasa mereka, yang sekitar Rp7.000 – Rp20.000, saya melakukan tawar – menawar dengan bapak yang setia menunggu tadi.
Stasiun Kediri. Masih Ada Jam Antiknya.
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home